Mencari Keponakan di Saat Meningkatnya Eskalasi Kebencian Terhadap Kaum Tionghoa
“Aku sudah cari anak kakakku di banyak sekolah di Jakarta Timur, dan ini sekolah terakhir,” – Edwin (Pengepungan di Bukit Duri, 2025)
Buat kamu yang menantikan film terbaru Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri, tak lama lagi kita sudah bisa menyaksikannya di seluruh bioskop Indonesia. Film yang kini bergenre aksi thriller, merupakan genre non-horor pertama yang ia kerjakan sejak Perempuan Tanah Jahanam yang saat itu dirilis pada 2019. Dalam film terbarunya kali ini, Joko Anwar hadir dengan premis yang bisa dibilang sederhana, namun penuh pesan moral yang sangat menyentuh.
Sinopsis

Berlatar pada 2027, Edwin (Morgan Oey) berjanji kepada saudara perempuannya yang sedang sekarat di rumah sakit untuk menemukan anak laki-lakinya yang hilang. Pencarian Edwin membawanya menjadi guru pengganti di SMA Duri, Jakarta, sebuah sekolah untuk anak-anak nakal. Di sana, ia harus menghadapi sekelompok siswa yang terkenal brutal demi bisa menemukan keponakannya. Ketika ia akhirnya menemukan keponakannya, kerusuhan di seluruh kota meletus dan Edwin terperangkap di sekolah itu bersama sekompok murid kejam tersebut yang mengincar nyawanya.
Prolog mencekam, mengingatkan kita pada kejadian Mei ‘98
Agak kaget saat melihat prolog film ini, kita sudah diperlihatkan sebuah masa yang mengingatkan kita pada kerusuhan Mei ’98. Prolog yang menjadi landasan narasi film, menjadi alasan utama Edwin mau menjadi guru di SMA Duri yang diisi anak-anak buangan tersebut. Penggambaran prolog yang luar biasa realistis, akan membuat sebagian penonton, terutama yang mengalami langsung masa kelam tersebut, akan merasa sedih dan meneteskan air mata.
Kejadian yang berdampak langsung kepada etnis Tionghoa itu, memang menyisakan rasa pedih dan perih yang berkepanjangan, bahkan hingga saat ini. Kebencian terhadap etnis Tionghoa tak hanya terlihat di prolog, namun juga diperlihatkan secara blak-blakan di sekolah tersebut oleh sekelompok geng yang dipimpin Jefri (Omara Esteghlal) yang juga menjadi murid Edwin di sekolah tersebut.
Elemen teknis yang luar biasa di segala aspek

Seperti halnya dengan karya Joko Anwar sebelulmnya, Pengepungan di Bukit Duri juga terlihat digarap sangat serius. Mulai dari desain produksinya yang sangat matang dalam membuat set-piece kerusuhan yang sangat nyata, dan penempatan kamera yang sangat dinamis, membuat banyak shot-shot menarik yang memperlihatkan betapa kacaunya kerusuhan yang terjadi. Shot menarik ini juga dihadirkan di sekolah saat peruh kedua berjalan.
Penggambaran kota yang kelam, carut marut dan tak terlalu jauh di masa depan, dihadirkan dengan subway yang penuh coretan graffiti, dan banyak dari tulisan itu penuh kebencian terhadap etnis Tionghoa. Kebencian terhadap etnis ini ternyata juga merambah lewat geng anak sekolah yang menjadi murid Edwin, membuat misinya makin sulit saja.
Kesimpulan
Pengepungan di Bukit Duri bukanlah sebuah film aksi thriller biasa yang menjual kebencian terhadap etnis tertentu. Walaupun film ini dipenuhi umpatan kasar anak-anak kekinian terhadap etnis Tionghoa, namun film ini dibuat bukanlah untuk menanamkan rasa kebencian penonton terhadap etnis ini. Namun untuk lebih untuk mengingatkan kita betapa rapuhnya bangsa kita terhadap perbedaan yang ada di dalam masyarakat.
Peran keluarga dalam membentuk pola pikir anak dirasa sangat penting dalam membentuk akhlak dan menghambat efek negatif yang berkembang liar di lingkungan mereka. Perubahan yang terjadi di masyarakat tidak semua baik, dan keluarga harus berperan aktif dalam memfilter semua itu, agar tidak melebar menjadi isu SARA yang selama ini menjadi kekuatiran banyak orang selama ini.
Director: Joko Anwar
Cast: Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta
Duration: 118 Minutes
Score: 8.0/10