Conclave

Review Conclave (2024)

Drama Konspirasi yang Penuh Rahasia Saat Pemilihan Paus Baru  

“The church is not the past. It is what we do next,” – Kardinal Benitez (Conclave, 2024)

Memasuki bulan Februari, sejumlah film nominasi Oscar mulai dihadirkan ke layar lebar, dan salah satunya yang sudah banyak ditunggu para penikmat film adalah Conclave. Film yang sudah tayang di beberapa negara sejak Oktober lalu, kini sudah bisa kita saksikan secara resmi di Indonesia.

Setelah ditayangkan perdana di Festival Film Telluride ke-51 pada tanggal 30 Agustus 2024, Conclave tayang di Amerika Serikat pada 25 Oktober dan di Inggris pada 29 November. Hingga saat ini, Conclave telah meraup keuntungan sebesar 95,6 juta dolar AS di seluruh dunia dengan anggaran produksi sebesar 20 juta dolar AS.

Sejumlah rekor berhasil ditorehkan Conclave, salah satunya adalah menjadi Film Terbaik di BAFTA 2025 dengan perolehan 4 piala, sekaligus menyingkiran kandidat terkuatnya, The Brutalist. Tak hanya di BAFTA, Conclave juga memperoleh 8 nominasi Academy Awards, dan hingga saat ini berhasil memperoleh 74 penghargaan dan 311 nominasi dari seluruh festival film internasional yang diikutinya.

Di situs web agregator ulasan Rotten Tomatoes, 93% dari 296 ulasan kritikus bersifat positif, dengan peringkat rata-rata 8,1/10. Sementara itu di Metacritic, yang menggunakan rata-rata tertimbang, memberi film tersebut skor 79 dari 100, berdasarkan 54 kritikus, yang menunjukkan ulasan “umumnya positif”.

Penonton yang disurvei oleh CinemaScore memberi film tersebut nilai rata-rata “B+” pada skala A+ hingga F, sementara mereka yang disurvei oleh PostTrak memberinya skor positif keseluruhan sebesar 84%, dengan 62% mengatakan mereka “pasti akan merekomendasikannya.” Seperti apakah filmnya kali ini? Kita akan mengulasnya di bawah ini.

Conclave
© Focus Features

Sinopsis

Kematian mendadak Paus di Vatikan membuat Dekan Kepausan yang dipimpin Kardinal Lawrence (Ralph Fiennes) ditugaskan untuk menjalankan Conclave, sebuah proses rahasia dengan mengumpulkan para pemimpin Gereja Katolik di seluruh dunia secara tertutup bersama di aula Vatikan untuk memilih Paus yang baru.

Yang belum banyak diketahui orang adalah kalau proses pemilihan ini sangatlah rumit, karena yang bisa terpilih secara aklamasi adalah kandidat yang berhasil memperoleh 2/3 suara. Kalau tidak bisa memenuhi kuorum, proses pemilihan ini akan diulangi terus menerus sampai terpilih, tanpa adanya batasan waktu.  

Tugas Lawrence di sini sangat berat, selain bertugas menyelenggarakan conclave dan memilih Paus baru, ia juga mengawasi kandidat Paus yang diunggulkan.

Empat kandidat utama adalah Aldo Bellini (Stanley Tucci) dari Amerika Serikat, seorang liberal yang memiliki pemikiran senada dengan mendiang Paus; Joshua Adeyemi (Lucian Msamati) dari Nigeria, seorang Kardinal yang memiliki pandangan sosial yang cenderung konservatif; Joseph Tremblay (John Lithgow) dari Kanada, seorang moderat yang digadang-gadang sejak lama untuk menggantikan Paus; dan Goffredo Tedesco (Sergio Castellitto) dari Italia, seorang tradisionalis yang selalu menyerang Paus selama hidupnya.

Sebelum conclave dimulai, Lawrence juga dikejutkan dengan kehadiran Uskup Agung Vincent Benitez dari Kabul, Afghanistan yang diangkat ‘in pectore’ atau secara rahasia oleh mendiang Paus sebagai Kardinal, tanpa diketahui siapapun di Vatikan.

Tiba saatnya conclave, Lawrence mendapat laporan kalau sejumlah kandidat terkuat mempunyai rahasia di masa lalunya, dan dapat mengguncang fondasi gereja Katolik. Apa yang nantinya diperbuat Lawrence dalam conclave kali ini? Berhasilkah paus baru terpilih nantinya?

Conclave
© Focus Features

Plot twist berliku yang sama sekali tidak membosankan

Sebagai sebuah drama thriller politik, Conclave yang berdurasi 2 jam, sama sekali tidak membosankan. Narasinya sangat dinamis dan tidak monoton, efektif dalam menggiring penonton untuk mengikuti alur ceritanya yang sangat menarik, terlebih bagi mereka yang selama ini hanya mengetahui conclave dari gambaran luarnya saja.

Prosesnya yang amat tertutup, dengan sejumlah aturan ketat seperti tidak boleh keluar, dan menggunakan gawai, menjadi bukti kalau proses yang sudah berlangsung ratusan tahun ini tetap efektif hingga saat ini.

Naskahnya sangat cerdas dan berfluktuasi sepanjang film, dengan sejumlah rahasia di balik semua itu, berhasil membawa penonton ke balik pintu Vatikan yang terkenal sangat rahasia, untuk melihat sebuah proses yang selama ini tidak diketahui banyak orang.

Conclave
© Focus Features

Elemen teknis yang luar biasa memukau

Walaupun lokasi syuting banyak dilakukan di studio, tampilannya terlihat sangat estetis dan berhasil mereplikasi suasana Vatikan yang selama ini kita kenal, seperti misalnya Sistine Chapel yang sangat legendaris, dan digunakan selama proses conclave. Detil lukisan ‘Last Judgment’ dari Michaelangelo yang menjadi latar sidang pemilihan paus, beberapa kali disorot kamera dari perspektif Lawrence, seolah menjadi gambaran betapa krusialnya pilihannya ini di mata Tuhan.

Tak hanya di dalam ruangan, Edward Berger juga tampil memukau saat mengambil sejumlah shot dari suasana pertemuan rahasia di sudut tangga, saat berjalan menyusuri tangga utama, terlebih saat menyorot dari atas sekumpulan Kardinal dan suster saat berjalan menembus hujan dengan payung terbuka. That absolutely stunning!

Selain itu, emosi dari Lawrence juga berhasil dihadirkannya secara close-up, dengan raut mukanya yang stres, namun bisa memperlihatkan ketenangan gaya bicaranya dalam menghadapi permasalahan yang harus ia hadapi.

Conclave
© Focus Features

Kesimpulan

Sebagai sebuah film, Conclave sangat luar biasa dalam menangkap esensi sidang tertutup para kardinal untuk memilih paus baru. Sebuah momen yang tidak banyak diketahui orang awam, terlebih menyikapi banyaknya intrik yang terjadi antara sesama kardinal. Pastinya narasi seperti ini akan ada pro-kontra, mengingat sinyalemen dari para kandidat itu adalah sesuatu yang sangat serius dalam Gereja Katolik dan dapat berimplikasi buruk ke depannya.

Sejumlah cast utama tampil luar biasa tanpa terkecuali. Kredit khusus ditujukan kepada Ralph Fiennes yang tampil memikat sebagai Kardinal Lawrence, sebagai Dekan di antara para Kardinal yang sekaligus bertindak sebagai pengawas. Meski terlihat tenang, tampak kegelisahan yang membuatnya berpikir keras untuk mengatasi permasalahan yang terjadi selama Conclave.

Secara teknis, Conclave tak usah diragukan lagi. Dari akting pemainnya, penyutradaraan, skenario, sinematografi dan desain produksinya sangat luar biasa. Dengan narasinya yang tidak membosankan untuk genre sejenis, dengan durasinya yang mencapai 2 jam, Conclave mampu menjadi tontonan terbaik bagi para penikmat film yang selama ini haus akan film berkualitas.

Sebagai penutup, ada satu pernyataan menarik diungkapkan Kardinal Benitez yang mengubah semua prediksi di awal, di mana ia mengatakan, “The church is not the past. It is what we do next.” (Gereja bukanlah masa lalu. Gereja adalah apa yang kita lakukan selanjutnya). Sebuah cerminan dari visinya selama ini saat menjalani tugasnya yang sangat berbahaya bila kita bandingkan dengan Kardinal lainnya. Pernyataan inilah yang membuat film ini sangat kuat berbicara dalam konteks keimanan bagi mereka yang menjalaninya.

Director: Edward Berger

Cast: Ralph Fiennes, Stanley Tucci, John Lithgow, Isabella Rossellini Lucian Msamati, Sergio Castellitto, Carlos Diehz

Duration: 120 minutes

Score: 9.0/10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top